Breaking News

Imam as-Syafii Imam yang Ketiga




Imam as-Syafii disebut sebagai imam yang ketiga, nama lengkapnya, Abdullah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Usman bin Syafi’ as-Syafii. Ia lahir dari Bani Muthallib bin Abd Manaf yang merupakan kakek keempat dari Rasulullah. Dan merupakan kakek kesembilan dari imam as-Syafii. Adapun ibunya berasal dari bangsa Yaman. Imam as-Syafii lahir di Gaza. Banyak riwayat yang mengatakan jika imam as-Syafii lahir di Gaza, Syam. Dan demikian itu telah disepakati juga oleh para ahli sejarawan tentang para ulama fikih. Namun ada juga para ahli sejarawan yang mengatakan beliau lahir di ‘Asqalan, yang jarak tempuhnya 3 farsakh dari kota Gaza. Dan juga jika dilihat dari para sejarawan yang berasal dari Syam dan Yaman, mereka mengatakan jika imam as-Syafii lahir di Yaman. Akan tetapi dari berbagai riwayat setelah saya telusuri membuktikan jika beliau lahir di Yaman, dan berkembang di Gaza dan ‘Asqalan. Sedangkan di ‘Asqalan sendiri dihuni oleh orang-orang Yaman pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H, ia berusia 54 tahun.

Gaza bukanlah tanah air ayahnya, karena ayahnya, Idris, pergi ke Gaza hanya ada urusan saja sampai wafat di sana pada saat Muhammad (Nama imam as-Syafii) masih kecil. Kemudian, pada saat imam as-Syafii sudah berusia dua tahun, ia dibawa oleh ibunya pindah ke Makah yang merupakan negeri ayahnya. Terkait dengan perpindahan imam as-Syafii ada yang mengatakan, pada saat ia berusia sepuluh tahun. Namun jika dikompromikan, ternyata beliau pindah dari Yaman ke Makah pada saat usia 2 tahun, kemudian pada saat itu belum sepenuhnya kembali satu atap bersama dengan keluarga besarnya, dan setelah ia berusia 10 tahun, baru pindah satu atap dengan keluarga besarnya, dan ia menuntut ilmu dengan para ulama di Makah. Adapun berkaitan dengan nasab ibu Imam as-Syafii, ada dua pendapat, pertama mengatakan ibunya dari golongan Quraiys terhormat. Dan yang kedua, ia dari golongan Al-Azad. Yang mengatakan, ia dari Quraiys, zuriyahnya sampai pada Abu Thalib. Dari nasab yang mulia inilah yang menjadi faktor ibu as-Syafii memilih untuk membawanya ke Makah.

Jika diurutkan secara nasab, silsilah imam as-Syafii ialah, bin Idris, bin Abbas, bin Usman, bin Syafii, bin as-Saaib, bin ‘Abid, bin Abdun Yazid, bin al-Muthallib bin Abdul Manaf. Dan nasabnya bertemu dengan nashab Rasulullah ketika sampai pada Abdul Manaf. Sedangkan al-Muthallib, kakek imam as-Syafii merupakan salah satu dari empat anak Abdul Manaf. Yaitu, al-Muthallib, Hasyim, ‘Abd Syamsyi, dan Naufal yang merupakan kakek dari Jabir bin Math’am. Muthallib ini yang mengasuh Abdul Muthallib yang merupakan anak dari saudara laki-laki Hasyim, kakek Nabi Muhammad, saw.  

Imam as-Syafii ketika masih kecil hidup dalam keadaan yatim dan miskin. Namun, ia tetap memiliki nasab yang tinggi di masyarakatnya. Meskipun demikian tidak menurangi kegigihan beliau untuk menuntut ilmu sampai menjadi orang alim. Dalam hal ilmu ia tidak pernah minder, dan tidak pernah merasa hina meskipun di hadapan penguasa sekalipun. Beberapa kali ia pernah menolak hadiah dan pemberian dari penguasa pada saat itu.
     
 Pada saat masih kecil berusia 7 tahun ia sudah hafal al-Quran, kemudian ia menghafalkan hadis, dan ia sangat antusias dengan hadis Nabi dengan mdengarkan langsung dari para ulama ahli hadis. Imam as-Syafii menghafalkannya dengan mendengarkan, hanya saja terkadang beliau menulisnya pada batang pohon (hizam) dan kulit hewan. Setelah ia berhasil menghafal al-Quran dan hadis, imam as-Syafii merasa perlu belajar untuk mendalami bahasa Arab dengan fasih. Sehingga ia memutuskan untuk keluar dari kota  Makah, dan lebih memilih belajar di Hudzail, yang merupakan tempat orang-orang Badui. Sejarah mencatat, ia belajar di daerah Hudzail selama sepuluh tahun. 

Sejak kecil ia juga memiliki kecerdasan dalam hal memanah, namun hal ini seperti layaknya pendidikan masyarakat Arab pada saat itu. Pertama menghafal al-Qurna, menghafal hadis, belajar bahasa Arab dengan fasih, belajar berkuda, dan belajar memahami kondisi sosial. Jadi, pertama kali, beliau belajar di Makah, mulai dari menghafal al-Quran, menghafal hadis, dan belajar ilmu fikih, bahkan pada saat beliau masih berusia muda, sudah diminta untuk menjadi dewan fatwa. Karena ilmunya sudah mumpuni untuk memberikan fatwa. Akan tetapi ia masih tidak puas dengan ilmu yang dimilikinya. Sampai ia mendengar ada ulama besar yang bernama Malik bin Anas di Madinah, pada akhirnya ia sempat berguru dengan imam Malik.

Pada saat itu, ia berguru untuk belajar fikih dengan Muslim bin Khalid, dan belajar hadis dari dua ulama besar, yaitu yang merupakan ahli hadis Hijaz, dan ahli Hadis Madinah, yaitu imam Malik. Mereka berdualah yang sering disebut sebagai guru yang paling mempengaruhi kepribadian keilmuan dalam diri imam as-Syafii. Namun, ada juga banyak riwayat yang menceritakann selain gurunya berdua tersebut.

Namun setelah imam Malik wafat (179 H), keadaan ekonomi imam as-Syafii masih miskin. Kemudian ada seorang pemimpin dari Yaman yang berkunjung ke Madinah. Saat itu pula ada beberapa orang Quraiys yang berbicang kepada pemimpin itu, yang intinya membujuk sang wali agar mengajak imam as-Syafii ikut bersamanya ke Yaman, dan itupun terjadi. Di Yaman, imam as-Syafii semakin sibuk dengan pekerjaan karena banyak orang-orang yang datang kepadanya untuk berguru.

No comments